Sabtu, 05 November 2011

Hujan, Kopi, dan Dia #part 3

Pukul 22.45, pekerjaan take home saya baru saja selesai. It’s time to take a rest. Saya letakkan kacamata minus saya di samping laptop yang masih menyala. Pekerjaan sudah selesai. Namun saya belum mau men-shut down-nya, seakan enggan untuk berpaling dari layarnya, memandangi desktop background-nya. Senangnya melihat dia tersenyum manis seperti itu. Rasanya hati saya damai jika melihat senyumannya. Sedamai ketika sang rerintik hujan turun membasahi bumi. Saya menghela nafas, bukan karena lega, tapi karena sudah tidak mampu lagi untuk menangis. Sungguh perasaan yang sulit untuk diungkapkan.
Jarum jam di dinding kamar saya terus berdetik, menunjukkan pukul 22.55. Dan saya, masih betah memandangi wajah itu walaupun dengan terkantuk-kantuk.
Terdengar suara gemuruh di luar rumah. Oh, rerintik rindu datang malam ini. Sang hujan seperti telah menyatu dengan hati saya. Di kala saya merindukan dia, sang hujan dengan setia menemani. Begitupun dengan secangkir kopi. Hujan, kopi, dan dia memang pelengkap hidup saya. Tapi, kali ini dia tak ada.
Tak lama terdengar suara bel. Saya terhenyak, was-was. Siapa yang datang bertamu dalam hujan tengah malam begini. Sempat terusik untuk membuka pintu, namun saya urungkan niat itu demi keselamatan diri saya. Tamu itu masih memencet bel, mungkin dia berharap saya membukakan pintu untuknya. Saya meloncat ke tempat tidur dan menenggelamkan diri di balik selimut. Takut. Semakin saya takut, semakin sering pula tamu itu memencet bel. Dengan segenap keberanian, saya mengintip keluar lewat jendela kamar. Saya menemukan sesosok lelaki berjaket dengan mobil Blazer hitamnya di depan pagar rumah saya. Di bawah hujan. Wait, sepertinya saya familiar dengan mobilnya. God, itu dia. Saya terkejut. Sangat-sangat terkejut. Bagaimana tidak, dia datang malam ini bersama rerintik rindu.
Saya segera mengambil payung, bergegas membuka pintu kemudian membuka pagar. Ketika saya berada dihadapannya, dia tersenyum hangat. Menembus ke dasar hati. Dengan segera dia memasukkan mobil ke dalam garasi. Saya belum mampu berkata-kata, dan hanya bisa membawanya masuk ke dalam rumah.
Saya menyodorkan handuk padanya, lalu membuatkan teh panas untuk menghangatkan tubuhnya. Masih belum berkata-kata. Ya, speechless dengan kedatangannya yang sangat mendadak. Saya terdiam di ruang tengah, di sofa, di depan televisi. Setelah dia berganti pakaian, dia duduk di samping saya. Lalu menggenggam tangan saya. Jemarinya dingin, dingin sekali. Saya pikir itu wajar, karena tadi dia berdiri di bawah rerintik hujan lumayan lama. Dia menatap mata saya, saya menghindar.
“Kenapa?” dia bertanya dengan nada khawatir.
Saya masih enggan untuk berbicara. Entah mengapa hati ini merasa sangat kacau, setahun yang lalu dia meninggalkan saya secara tiba-tiba, malam ini juga dia datang secara tiba-tiba. Ketika saya sudah cukup kuat untuk terbiasa hidup tanpa dia, mengapa dia datang? Ini sama saja membuat saya kembali rapuh. Saya sadar bahwa saya sangat merindukan dia. Tapi apakah ini lelucon kehidupan? Yang dapat seenaknya pergi, lalu datang kembali? Permainan macam apa ini, Tuhan? Air mata saya tak dapat lagi dibendung. Saya terisak di hadapan dia. Dia meraih bahu saya, mendekap saya dalam pelukannya.
“Menangislah jika itu membuatmu merasa lega.”, hanya itu yang dia katakan.
Setelah isak saya berkurang dia melepaskan pelukannya, lalu beranjak menuju dapur. Saya terdiam, tak bergeming. Terdengar suara air yang dituangkan ke dalam gelas dan wangi kopi pun menandakan bahwa dia sedang membuatkan kopi, mungkin untuk saya. Ya, untuk siapa lagi selain saya, coffe holic. Kemudian dia menyodorkan secangkir GoodDay Carrebian Nut itu pada saya. Saya meminumnya dengan perasaan tak menentu, lalu saya simpan di meja. Dan dia kembali memeluk saya, erat. Sangat nyaman, lalu saya terlelap.



#Yogyakarta, 5 November 2011, 14.19
Dan hujan belum datang hari ini =)

2 komentar:

puteri hujan mengatakan...

keren beud yg ini.. :3

mutiaramutiara mengatakan...

makasihh >_<
tapi keren darimananya? hoho :o